Aku terbangun pagi-pagi sekali ketika hujan turun begitu derasnya disertai petir. Angin menusuk kulitku sehingga aku harus merapatkan selimutku dan memeluk erat-erat bantal gulingku. Bulu-bulu di tangan dan kakiku berdiri sesekali ketika angin melewati mereka. Ini hari libur. Jadi aku dapat istirahat semauku, memanfaatkan hari ini sebaik-baiknya.
Aku baru akan kembali terlelap ketika ponsel ku bergetar. Dengan malas kuraih ponsel itu
'Siapa tahu penting.' pikirku.
"Kau sudah bangun?"
Begitulah isi pesan yang kuterima.
Begitulah isi pesan yang kuterima.
"Sudah." balasku.
Sepersekian detik setelah itu, ia --orang yang mengirimiku pesan-- meneleponku dengan video call. Kuangkat dan kulihat dengan jelas wajah pria yang sangat kurindukan. Kami berdua sama-sama sibuk sehingga jarang berkomunikasi, apalagi dia mendapat tugas ke luar kota.
"Selamat pagi." ucapnya tersenyum.
"Selamat pagi." ujarku tersenyum.
"Maaf aku jarang menghubungi mu."
"Maaf aku jarang membalas pesan mu dan jarang mengangkat telepon mu. Tidak apa-apa. Aku tahu kau sibuk. Aku mengerti."
"Ya, tidak apa-apa. Aku juga tahu kau sibuk." kami terdiam beberapa saat sampai ia berkata, "seminggu lagi tugas ku disini selesai dan aku akan pulang, mememuimu dan langsung melamarmu."
"Selamat pagi." ujarku tersenyum.
"Maaf aku jarang menghubungi mu."
"Maaf aku jarang membalas pesan mu dan jarang mengangkat telepon mu. Tidak apa-apa. Aku tahu kau sibuk. Aku mengerti."
"Ya, tidak apa-apa. Aku juga tahu kau sibuk." kami terdiam beberapa saat sampai ia berkata, "seminggu lagi tugas ku disini selesai dan aku akan pulang, mememuimu dan langsung melamarmu."
Deg!
"Tidak usah terburu-buru."
"Hey, kita sudah lama membicarakannya dan kau bilang kau siap kapanpun aku siap. Aku sudah siap sekarang. Kurasa uang yang kukumpulkan dengan bekerja beberapa tahun ini sudah cukup untuk kita berdua. Untuk pernikahan kita." ia tertawa kecil.
"Hey, kita sudah lama membicarakannya dan kau bilang kau siap kapanpun aku siap. Aku sudah siap sekarang. Kurasa uang yang kukumpulkan dengan bekerja beberapa tahun ini sudah cukup untuk kita berdua. Untuk pernikahan kita." ia tertawa kecil.
Aku tersenyum, "ya kau benar. Aku memang mengatakan bahwa aku akan siap jika kau siap. Baiklah jika kau sudah siap. Aku pikir uang yang telah kukumpulkan dengan bekerja juga sudah cukup untuk kita berdua. Setidaknya aku sudah memiliki perkerjaan tetap. Lagipula setelah proyek ini selesai, aku akan dipromosi oleh atasanku."
"Wow, itu hebat. Selamat ya. Aku turut senang. Wah, kalau begitu aku harus lebih giat bekerja lagi karena kelihatannya ada wanita yang akan mengalahkanku." kami tertawa.
"Ah, tidak juga. Sudahlah jangan pikirkan masalah pekerjaan. Tadi kau bilang ingin melamarku. Jadi fokuskan saja pikiranmu ke situ."
"Bukan hanya aku. Kau juga harus memfokuskan pikiran mu kesitu."
"Terimakasih." aku tersenyum haru.
"Jika boleh bertanya, untuk apa?"
"Kau sudah memenuhi tanggung jawabmu. Aku pikir kau akan lari dan akan membuatku stres hingga masuk ke rumah sakit jiwa. Dear me! Kuharap itu tidak terjadi."
"Kan sudah kubilang jangan bahas masalah itu lagi. Sebagai lelaki sejati itu sudah tanggung jawabku. Berani berbuat harus berani bertanggung jawab, bukan? Jadi kumohon percayalah padaku. Aku mencintaimu segenap hatiku. Tidak akan kulukai sehelai rambutmu apalagi hatimu."
"Hey hey, jangan marah-marah dulu. Aku juga mencintaimu. Kau tidak akan melukai ku walau sehelai rambut, hmm kuharap begitu."
"Perkataan mu 'hmm kuharap begitu' itu saja sudah menunjukkan kalau kau ragu. Oh sayang, bisakah kau mempercayaiku sepenuh hatimu?"
"Ya, aku bisa. Aku tidak ragu. Aku percaya padamu sepenuh hatiku. Sudah dulu ya. Hujan semakin deras disini, petir-petir saling menyambar. Tidak baik jika menelepon di cuaca seperti ini."
"Oke. Baik-baik disana, ya. Tunggu aku. Bye. I love you."
"Bye. I love you too."
Telepon terputus.
Wajahnya berantakan. Dia belum mencukur. Matanya berkantung seperti kurang tidur. Ya Tuhan, lindungi dia.
Aku senang ia memenuhi tanggung jawabnya. Ya akan kuceritakan sedikit saja. Waktu itu semasa SMA, ia merenggut kesucian ku. Saat itu kami dimabuk asmara sehingga tidak memikirkan apa yang akan terjadi setelah itu. Setelah tamat SMA, aku selalu dihantui rasa takut, rasa penyesalan yang teramat. Aku takut jika ia --kekasihku-- akan pergi meninggalkan ku dengan semua janji-janjinya. Aku takut jika ia meninggalkan ku aku akan stres, depresi sehingga masuk rumah sakit jiwa. Aku menyesal telah melakukan itu semua. Tapi rasa takut dan penyesalan itu menghilang ketika ia bilang ia akan melamarku. Setidaknya rasa khawatirku berkurang.
Satu bulan kemudian undangan pernikahan ku dengan Alex --kekasihku-- disebar.
"Anna, kau baik-baik saja?" tanya Alex ketika aku memperhatikan orang-orang bekerja mempersiapkan pesta pernikahanku dengan Alex.
"Baik. Ada apa bertanya seperti itu?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya gugup. Satu hari lagi, Ann. Dan aku tidak pernah segugup ini seumur hidupku."
Aku tertawa, "kalau boleh jujur. Aku juga gugup."
"Oh God. Bagaimana bisa kau gugup sedangkan kau kelihatan tenang seperti ini. Wanita memang pandai menyembunyikan perasannya."
"Kau akan lebih gugup ketika kau menemani istrimu melahirkan." ujar seorang lelaki separuh baya --ayahku--
"Begini saja aku sudah gugup apalagi menemani istriku, maksudku calon istriku saat ia melahirkan."
"Baik. Ada apa bertanya seperti itu?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya gugup. Satu hari lagi, Ann. Dan aku tidak pernah segugup ini seumur hidupku."
Aku tertawa, "kalau boleh jujur. Aku juga gugup."
"Oh God. Bagaimana bisa kau gugup sedangkan kau kelihatan tenang seperti ini. Wanita memang pandai menyembunyikan perasannya."
"Kau akan lebih gugup ketika kau menemani istrimu melahirkan." ujar seorang lelaki separuh baya --ayahku--
"Begini saja aku sudah gugup apalagi menemani istriku, maksudku calon istriku saat ia melahirkan."
Aku, Alex dan Ayah sama-sama tertawa.
Komentar
Posting Komentar